Sisipan Hati

Kamis, 29 Juli 2010

TAMAN NASIONAL KUTAI


A.    SEJARAH SINGKAT TAMAN NASIONAL  KUTAI

Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan salah satu objek andalan Kabupaten Kutai Timur. Taman nasional ini memiliki luas 198.629 ha dan secara administratif terletak dalam wilayah Kecamatan Bontang Utara, Sangatta, Bontang Selatan, Muara Badak, Muara Kaman, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. Taman Nasional Kutai ini dapat dicapai dari Samarinda melalui jalur jalan Bontang-Sangatta, sekitar 125 Km dengan kondisi jalan sudah beraspal relatif mulus. Hanya beberapa ruas jalan mulai berlubang dan atau longsor. Bagian Timur TNK yang berbatasan dengan Selat Makassar dapat dicapai melalui laut, misalnya Teluk Kaba dan Sangkimah.
Sebelum menjadi taman nasional, kawasan ini merupakan Suaka Margasatwa Kutai dengan luas 306.000 ha yang ditetapkan berdasarkan SK Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintahan Kerajaan Kutai Tahun 1934. Perubahan status kawasan terjadi pada tahun 1982 melalui SK Menteri Pertanian, dengan luas menjadi sebesar 200.000 ha.  Perkembangan Kotif Bontang pada Tahun 1982 antara lain menyebabkan pengurangan luas Taman Nasional ini menjadi seperti keadaan di atas. Berdasarkan Keppres nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, kawasan Taman Nasional Kutai merupakan kawasan lindung dan termasuk ke dalam kawasan suaka dan cagar alam yang mempunyai fungsi sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan pencemaran. Fungsi TNK sebagai kawasan pelestarian alam,sesuai Keppres No.32 tahun 1990, dikelola dengan sistem zonasi. Berdasarkan Keppres tersebut zona di TNK meliputi (i) Zona inti terletak pada bagian Barat TNK dengan luas 99.000 ha, (ii) Zona rimba, disebelah timur TNK dengan luas sebesar 70.500 ha, (iii) Zona pemanfaatan intensif,seluas 23.800 ha yang dicadangkan untuk pengembangan fasilitas pengelolaan dan penampungan keperluan jasa rekreasi dan pariwisata, (iv) Zona Rehabilitasi ,yang merupakan salah satu wilayah yang dikhususkan untuk memperbaiki vegetasi atau habitat satwa yang rusak akibat pembukaan dan pendudukan oleh masyarakat secara liar, (v) Zona penyangga, dicanangkan seluas 2.450 ha yang diperuntukkan sebagai zona penyangga dari tekanan masyarakat terhadap zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan insentif.
Potensi utama TNK adalah kekayaan flora dan faunanya. Keragaman flora dan faunanya.Keragaman flora diantaranya adalah terdapat berbagai jenis vegetasi dihutan mangrove, hutan rawa air tawar, hutan kerangas hutan genangan dataran rendah, hutan ulin-meranti-kapur dan hutan campuran/dipterocarpaceae.  Selain berbagai flora , taman nasional ini merupakan tempat hidup sebagaian besar jenis mamalia dan burung yang ada di Pulau Kalimantan, seperti Primata (misalnya orang utan, bekantan, owa-owa), ungulata(banteng, rusa, kijang, kancil) dan berbagai  jenis burung/unggas (enggang papan, raja udang, bangau tong-tong), reptil (buaya, ular) dan lain-lain. Namun sejak terjadinya kebakaran hutan dan semakin terambahnya kawasan hutan TNK ini populasi satwa tersebut menjadi jauh berkurang.
Taman Nasional Kutai dibagi menjadi empat zona kawasan, yaitu (i) Zona Sangatta, (ii) Zona Muara Wahau, dan (iii) Zona Sangkulirang. 
1.      Zona Sangatta
      Wilayah ini seolah menjadi gerbang bagi pengunjung yang akan masuk ke Sangatta,Kutai Timur melalui jalur darat. Wilayah ini dicirikan oleh dominasi objek wisata alam, dengan Taman Nasional Kutai-nya yang sudah terkenal, wilayah ini juga diuntungkan dengan keberadaan kota Sangatta sebagai ibukota kabupaten yang memiliki fasilitas penunjang yang jauh lebih baik dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di Kutai Timur. Daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Sangkimah, Mentoko, Pantai Teluk Kaba, Pantai teluk Lombok dan Perancis, dan Pantai Tanjung Bara. Sangkimah merupakan daya tarik utama TNK adalah adanya pohon ulin besar yang diperkirakan berusia ribuan tahun. Selain itu terdapat pula jembatan (disebut Jembatan Sangkimah) sepanjang lebih kurang 1 Km menjorok masuk ke tengah hutan hujan tropis dan bermuara pada suatu fosil hidup,yaitu pohon ulin besar yang diperkirakan berumur sekitar 1000 Tahun. Dulu diwilayah ini masih sering terlihat orang utan,owa-owa dan beruk.
      Dikawasan Mentoko terdapat sebuah pondok penelitian,disebut Pondok Penelitian Mentoko,yang didirikan oleh Akira Suzuki,seorang ahli biologi dari Jepang yang mempelajari kehidupan orang utan di daerah ini.Sekarang Pondok ini sering dijadikan tempat untuk istirihat jika ada wisatawan yang datang untuk mengunjungi TNK. Pantai Teluk Kaba yang masih terletak di dalam kawasan TNK merupakan salah satu objek wisata alam pantai yang masih asli. Hutan-hutan disekitar lokasi tampak masih belum banyak tersentuh oleh penduduk dan pendatang. Daya tarik yang menonjol pada lokasi tersebut adalah pemandangan pantai dan laut yang diapit oleh dua tanjung kecil menghadap ke Selat Makassar. Pantai ini tidak mempunyai dataran landai seperti pantai pada umumnya namun dapat menjadi satu ciri khas dari Pantai Teluk Kaba. Adanya hutan bakau di sekitar lokasi menambah suasana ”taman nasional “ lebih terasa.
      Pantai Teluk Lombok dan Teluk Perancis letaknya bersebelahan dan terletak tidak jauh dari kota Sangatta. Pantai ini termasuk dalam wilayah kecamatan Sangatta, masih dalam Wilayah Taman Nasional Kutai. Dari kota Sangatta tempat ini berjarak sekitar 15 km menggunakan jalan darat, menyusuri pantai Timur Kutai Timur. Akses utama menuju kelokasi adalah melalui komplek Pertamina yang merupakan satu-satunya jalan yang ada saat ini. Kondisi jalan masih belum di aspal namun sudah diperkeras dengan bebatuan sehingga apabila terjadi hujan diperkirakan tidak akan terjadi banjir dan jalanan tidak akan dipenuhi lumpur. Dibandingkan dengan jalan ke Pantai Teluk Kaba jalan ini sudah relatif jauh lebih baik. Daya tarik yang utama dari kawasan ini adalah pemandangan pantai ke laut lepas yang biru, dengan pantainya yang panjang dan ditumbuhi pepohonan sehingga rindang/teduh. Dermaga yang menjorok agak sedikit ke tengah laut sering digunakan oleh pengunjung yang datang untuk dapat melihat pemandangan laut lebih dekat.Demikian juga dengan Pantai Teluk Perancis yang menyajikan daya tarik yang tidak jauh berbeda dengan di Teluk Lombok.
      Pantai Tanjung Bara (PTB) adalah salah satu objek wisata pantai lainnya yang ada di Kabupaten Kutai Timur.PTB masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Sangatta,sekitar 1/2 -1 jam perjalan dari Kota Sangatta ke arah utara. Pantai ini berada di dalam wilayah PT.Kaltim Prima Coal (KPC) yang merupakan salah satu perusahaan penambangan terbesar yang berada diwilayah Kalimantan Timur. Kondisi jalannya sudah beraspal mulus, namun untuk mencapainya perlu memintakan ijin untuk memasuki kawasan tersebut. Pantai ini merupakan tempat klub Aquatic, suatu klub yang beranggotakan para pekerja (umumnya pekerja asing) yang bekerja di PT.KPC atau perusahaan-perusahaan lainnya di Sangatta.
2.      Zona Muara Wahau
      Objek dan daya tarik wisata di wilayah ini dicirikan oleh alam pedalaman hutan dan sungai, dengan budaya sungainya yang masih cukup kental. Keberadaan gunung batu Kongbeng merupakan salah satu daya tarik lain yang unik di wilayah ini selain dari desa-desa sepanjang sungai Wahau/Telen. Desa Muara Wahau yang mempunyai luas wilayah 147.123 m2 merupakan ibukota kecamatan Muara Wahau yang berlokasi sekitar 180 km dari Sangatta. Desa ini berpenduduk sekitar 3.785 jiwa dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai peladang. Desa-desa di sepanjang sungai di daerah ini penduduknya rata-rata memiliki rumah berbentuk panggung. Tidak dijumpai rumah lamin/panjang. Desa-desa ini berkembang dengan adanya daerah permukiman transmigrasi dan perusahaan kayu. Sungai masih menjadi sumber keperluan air sehari-hari seperti untuk mandi, cuci bahkan memasak. Penduduk menggunakan drum-drum besar untuk menampung air sungai kemudian mengolahnya secara sederhana dengan memberinya kaporit dan tawas. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk terhadap sungai menyebabkan mereka cukup menjaga kebersihan sungai antara lain dengan tidak membuang sampah ke sungai.
      Desa Miau Baru berpenduduk sekitar 3.213 jiwa dan mempunyai luas Wilayah sekitar 51.700 m2. Desa yang terletak di Kecamatan Muara Wahau ini adalah salah satu dari sedikit desa di Kutai Timur yang masih tetap mempertahankan tradisi budaya Dayak dalam kehidupan keseharian mereka, seperti berladang dan mencari ikan untuk kelangsungan hidup. Daya tarik utama didesa Miau Baru adalah desanya sendiri yang masih terasa suasana budaya suku dayak dengan bangunan-bangunan tradisional atau biasa disebut Lamin yang masih dapat dijumpai di desa ini. Namun sekarang Lamin tersebut sudah beralih fungsi tidak lagi sebagai rumah tinggal tetapi sebagai balai pertemuan desa. Selain itu bangunan lumbung desa dipenuhi dengan ukiran-ukiran kahas dayak yang menambah daya tarik desa ini.
      Gunung Kombeng adalah salah satu potensi wisata yang ada didesa pantun, Kecamatan Muara wahau. Gunung ini merupakan gunung batu yang dikelilingi hutan gambut, rumput-rumput belukar dan pepohonan yang sudah tumbuh membesar. Berbeda dengan dulu pada masa kejayaannya Gunung Kombeng tampak rapi, bersih dan terawat. Hampir setiap akhir minggu gunung batu ini ramai dikunjungi oleh penduduk sekitar baik untuk berjalan-jalan atau untuk ikut melakukan upacara adat. Namun sekitar lima sampai enam tahun trerakhir masa-masa jaya Gunung Kombeng sudah mulai hilang. Menurut penduduk yang tinggal di sekitar gunung Kombeng seiring dengan perpindahan penduduk yang dahulu bermukim di sekitar kawasan tersebut yang yang mulai berpindah mencari tempat tinggal baru yang lebih dekat kepada pusat aktivitas masyarakat, seperti di pelabuhan atau dipinggir sungai. Selain itu PTP-PTP yang dahulu berada di sekitar gunung Kombeng tidak lagi memiliki sumber dana untuk mendukung setiap acara adat yang biasa diadakan oleh masyarakat sekitar. Keadaan gunung kombeng saat ini memang tampak sudah tidak terurus lagi. Jalan yang merupakan aksese utama untuk menuju ke gunung tersebut sudah hilang ditutupi oleh semak dan hutan. Hanya beberapa kilometer dimuka saja yang tampak masih dapat dilalui dan oleh kendaraan selebihnya jalur jalan yang ada sudah tertuptupi oleh semak belukar dan pepohonan.
      Desa-desa sepanjang sungai Wahau/telen, sampai saat ini masih mengandalkan angkutan sungai sebagai sarana transportasinya. Keterkaitan desa/kota disepanjang sungai dengan transportasi sungai Mahakam masih lebih kuat, dibandingkan keterhubungannya malalui darat. Rumah tradisional sudah mulai berkurang keberadaannya, tergantikan oleh rumah panggung/semi permanen/beton. Suasana “tradisional” sudah melalui menghilang. Rumah adat yang tersisa biasanya diperuntukan sebagai balai desa.
3.      Zona Sangkulirang
      Objek dan daya tarik wisata di zona ini umumnya ditandai dengan ciri alam, yaitu hutan, gua, air panas, sungai, pantai dan pulau-pulau kecil yang tersebar di Kecamatan Sangkulirang. Garis pantai yang panjang dan potensi perairan (laut maupun sungai) yang besar menambah daya tarik wilayah ini terlebih dengan adanya daya tarik yang unik yang berbeda dengan wilayah lainnya, seperti gua, pulau, pantai, laut dan air panas. Namun sperti juga wilayah lain di Kutai Timur, aksesbilitas (melalui darat) masih menjadi masalah yang utama untuk wilayah Sangkulirang. Sementara ini transportasi air/sungai dengan perahu masih mendominasi perangkutan di Sangkulirang. Daerah zona ini meliputi Desa Benua Baru – Sangkulirang, Pulau Birah-Birahan, Pantai Jepu-Jepu, Bual-Bual dan Selangkau, Desa pengadaan, Gua Ampanas dan Gua Mardua, dan Mata Air Sekerat.

B.     PERMASALAHAN TAMAN NASIONAL KUTAI
            Latar belakang permasalahan yang terjadi di dalam TNK diawali karena adanya perubahan status kawasan terjadi pada tahun 1982 melalui SK Menteri Pertanian, sehingga luas total TNK menjadi hanya sebesar 198.629 ha dan dengan adanya penguasaan lahan yang terjadi sejak awal 2000. Tidak lama setelah Jalan Raya Bontang menuju Sangatta, ibu kota Kutai Timur, dibangun, para pendatang dari luar pulau mulai membabat hutan untuk dijadikan ladang dan mendirikan pondok-pondok kayu di sekitar jalan raya di daerah Sangkimah, Teluk Pandan dan Lhok Tuan. Kepala Balai TN Kutai, Tandya Tjahjana(2008) menjelaskan bahwa Seluas 146.080 ha dari 198.629 ha Taman Nasional Kutai telah dirambah masyarakat. Berdasarkan data dari situs resmi Taman Nasional Kutai juga menjelaskan bahwa sekitar 700 warga juga telah merambah kawasan taman nasional yang berlokasi di Kabupaten Kutai Timur itu untuk dijadikan tempat tinggal dan ladang pada Mei 2007 lalu dengan cara pembakaran. Para pendatang tersebut mengaku keturunan suku asli Kalimantan dan pola yang sama juga dilakukan para pendatang dari Sulawesi. Luas lahan yang telah dirambah mencapai 500-600 ha di sepanjang ruas jalan Bontang-Sangata, jalan Trans Utara Kaltim, tepatnya di daerah Sangkima yang sebelumnya merupakan daerah berisi tegakan pohon ulin. Meski perambahan TNK hingga kini hanya terjadi di tepi jalan, tidak tertutup kemungkinan pergerakannya bisa merambah lebih ke dalam kawasan taman nasional dan berpotensi mengancam keberadaan orangutan (Pongo pygmaeus). Permasalahan lain yang ada di kawasan itu adalah keberadaan puluhan ribu warga di empat desa definitif yang sudah ada sebelum tempat itu dijadikan taman nasional tahun 1995. Empat desa itu, yakni Sangatta Selatan, Singadewe, Sangkima dan Teluk Pandan. Permukiman warga telah berkembang menjadi tujuh desa dalam dua kecamatan. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatakan bahwa kawasan konservasi seharusnya bebas dari permukiman penduduk.
            Berdasarkan pernyataan Agus Budiono, yang dilansir melalui situs resmi TNK, mantan Kepala Balai TNK tersebut mengatakan bahwa diketahui adanya skenario untuk melenyapkan kawasan konservasi tersebut. Hal tersebut diperkuat oleh bukti berupa surat permohonan izin pertambangan batu bara di lahan seluas 93.749 ha atau 47 persen luas TN Kutai, yang sudah beliau lihat sendiri. Hal tersebut cukup menarik bagi para konglomerat disebabkan batu bara TNK berkalori tinggi merupakan sumber daya dengan nilai 6.000-7.000 dan diperkirakan berharga sekitar 270 miliar dollar AS(Situs Resmi TNK, 2008). Solusi untuk menyelesaikan permasalahan di TNK sudah banyak dilakukan oleh balai TNK, tetapi mereka tidak berdaya untuk menghentikan aksi massa tersebut karena selain jumlah personel yang tidak imbang, ia juga khawatir akan pecahnya kerusuhan di TNK.  

C.     SOLUSI BAGI TAMAN NASIONAL KUTAI
            Pada tahun 1962, Organisasi konservasi dunia melembagakan kawasan perlindungan dengan mendefinisikan kawasan perlindungan sebagai sebuah kawasan, baik daratan maupun lautan yang mendapat perlindungan khusus dan pemeliharaan keanekaragaman hayatinya, sumber kealamiahan dan kebudayaan, dan berhak diatur oleh pihak yang legal dan bertanggungjawab (Hayes 2006). Pada kenyataannya sistem birokrasi dan kebijakan suatu pemerintahan dalam negara akan sangat berpengaruh pada pengembangan dan peningkatan suatu daerah kawasan.
Pengembangan potensi TNK sebagai objek dan daya tarik wisata di Kutai Timurpun merupakan salah satu dari sejumlah Taman Nasional lain di Indonesia yang tidak mendapat arah kebijakan yang jelas dalam pengelolaannya. TNK masih menghadapi berbagai masalah yang terkait dengan berbagai kepentingan, antara kebakaran hutan, penebangan kayu liar dan perambahan hutan oleh penduduk untuk pemukiman dan ladang. Pemanfaatan TNK untuk pariwisata seyogyanya dapat mengurangi konflik kepentingan yang ada, dengan tetap menjaga fungsi TNK dalam melestarikan lingkungan. Melihat besarnya potensi yang bisa dikembangkan dikawasan TNK maka tidaklah salah jika ada satu fungsi khusus Keppres untuk mengatur fungsi TNK, diantaranya adalah potensi objek wisata yang dikembangkan di Taman Nasional Nasional Kutai itu seperti Sangkimah,Mentoko,dan Teluk Kaba.
Solusi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur saat ini adalah dengan menginginkan agar desa definitif yang ada dibebaskan dari kawasan TNK dengan sistem enclave.  Awang(2007) mengatakan warga di luar batas yang sudah ditentukan harus dipindahkan, dan lahan yang enclave dilarang keras untuk diperjual-belikan. Luas lahan yang diajukan untuk hal itu mencapai 24.000 ha. Beberapa contoh program enclave yang telah berhasil yaitu pada kelompok Nyiur melambai yang tinggal di Desa Kandolo Kecamatan Teluk Pandan 40 Km dari Sangatta Kabupaten Kutai Timur dan 20 Km dari Kota Bontang, tepatnya didalam kawasan Taman Nasional Kutai. Gula aren merupakan produk utama desa ini dan saat ini kelompok Nyiur melambai sudah memproduksi hampir 1 ton gula aren perbulan, permintaan yang cukup banyak di sangatta menyebabkan pemasaran hanya dikirim ke wilayah Sangatta saja (Kurniawan 2008). Mimpi untuk mencapai kesejahteraan akan terwujud dengan hutan yang lestari guna mendukung keberadaan pohon-pohon aren. Lain halnya dengan kelompok Pangkang Lestari yang berada di Teluk Lombok, desa Sangkima Kecamatan Sengata Selatan Kutai Timur, potensi hutan bakau yang melimpah berjajar rapi diantara pantai yang membujur membuat pengembangan pola mata pencarianpun mulai bergeser dan mulai dinamis dengan kondisi alam di Teluk Lombok. Selain melaut pengembangan lain mulai bergerak seperti pembibitan bakau dan Tambak kepiting bakau. Pembibitan pohon bakau sudah berjalan 2 tahun terakhir ini dengan menggunakan pola tradisional di masyarakat sedangkan tambak kepiting bakau sudah berjalan dengan dukungan Mitra Taman Nasional Kutai. Awalnya, usaha kepiting bakau dimulai dengan menggunakan demplot, karena terjadi hilangnya kepiting dalam demplot menyebabkan budidaya kepiting dialihkan lagi dengan menggunakan sistem tambak(Kurniawan 2008).
Meskipun terlihat mengalami perkembangan, solusi diatas belum cukup efektif untuk menyelesaikan permasalahan di TNK, disebabkan jumlah pendatang yang semakin bertambah, birokrasi yang sulit dan sistem negoisasi dengan masyarakat yang relatif alot. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur bahkan telah mengusulkan agar luasan Taman Nasional (TN) Kutai dikurangi 23.712 ha untuk pengembangan wilayah. Solusi yang harus segera dibuat harus tepat, sebab berkaitan juga dengan nasib TN lainnya di Indonesia. Bila usul pengurangan lahan disetujui, hal itu berpotensi menimpa TN lainnya yang bermasalah mirip dan mengakibatkan keuntungan bagi pihak-pihak yang berniat kurang baik.
Berdasarkan keterangan Kepala Balai TN Kutai, Tandya Tjahjana(2008), penyelesaian masalah dengan cara lain juga masih dirumuskan oleh tim terpadu dan akan diputuskan oleh DPR karena terkait pelepasan status hutan. Penguasaan dan perambahan lahan Taman Nasional Kutai di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, belum teratasi. Ada sejumlah usulan skenario solusi, tetapi penjelasannya masih dirahasiakan. Hal tersebut, menurut pribadi saya, cukup menuai keraguan dan kehilangan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kecepatan respon oleh pemerintah yang menunjukkan ketidaktegasan dan ketidakcekatan dalam menuntaskan berbagai masalah di TNK. Kaban(2008) juga mengakui bahwa Departemen Kehutanan berkali-kali mengkaji berbagai pilihan solusi masalah-masalah TNK, misalnya dengan mengurangi luas kawasan, membebaskan TN Kutai dari keberadaan warga dan semua bangunan, atau menetapkan permukiman warga dalam kawasan khusus. Menteri Kehutanan membenarkan bahwa keputusan mengambil salah satu pilihan memanglah berada pada dirinya, tetapi beliau menegaskan dalam pernyataanya bahwa tindakan mengeksekusi itu gampang, tetapi semua masalah-masalah tersebut memiliki spektrum yang luas, sehingga perlu rekonstruksi ulang.
Masalah ini akan saya kaji ulang dengan perspektif pemikiran yang berbeda. Taman merupakan instrument konservasi yang cukup efektif, tapi lebih spesifiknya apakah kawasan perlindungan tersebut juga lebih efektif daripada ketetapan pemerintah (Hayes 2006). Penelitian Hayes(2006) telah menggunakan studi kasus dengan kebijakan mendukung atau menolak bahwa kawasan perlindungan harus bekerjasama dengan penduduk setempat supaya kawasan tersebut harus sama-sama dilindungi oleh kedua belah pihak, tetapi yang menjadi masalah adalah seharusnya berapa banyak orang-orang yang berpartisipasi dalam mengatur perlindungan kawasan ini. Sehingga ada tiga solusi yang bisa ditawarkan dalam hal ini, yang pertama dengan cara mengembalikan pertanyaan awal tentang keefektif taman nasional. Hayes(2006) mengatakan bahwa IFRI(International Forestry Resources and Institutions) telah mengambil 163 contoh hutan yang dikelolanya sendiri dan menyimpulkan tindakan konservasinya tidak cukup efektif jika tidak didukung oleh institusi pendukung lainnya. Hal tersebut bisa disimpulkan bahwa kawasan perlindungan bukan merupakan satu-satunya instrumen kebijakan untuk mengefektifkan kawasan konservasi. Seorang konesrvator seharusnya juga berhati-hati pada saat menetapkan kawasan perlindungan sebagai saran dari sebuah kebijakan. Penelitian selajutnya mungkin dibutuhkan untuk memahami bagaimana kebijakan pemerintah mungkin menyediakan perlindungan kawasan konservasi.
Kedua, studi kasus menyediakan data bahwa perdebatan kawasan perlindungan dengan mendemontrasikan pentingnya peraturan yang diakui dan dibuat oleh pengguna hutan, tidak hanya oleh pegawai kawasan saja. Ini berarti tidak hanya manajer kawasan perlindungan yang harus mencari ide untuk memajukan kawasan konservasi, kemudian masyaraka setempat seharusnya juga ikut terlibat dalam proses pembuatan peraturan dan undang-undang. Dengan adanya kebijakan seperti itu, semua pihak yang memanfaatkan hasil hutan tersebut merasa meiliki dan seharusnya turut menjaga keharmonisasian kawasan perlindungan hutan dengan menerpakan simbiosis mutualisme.
Dan yang alternatif yang terakhir adalah dengan mengkonservasinya menjadi  hutan lindung . Ini berarti melawan asumsi yang dibuat oleh penyokong hutan tradisional, pengguna sumber bisa mebuat perjanjian yang sesuai dengan kondisi lingkungannya dan mendorong penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pada kenyataannya kawasan bukan taman nasional memiliki dua kali lebih banyak peraturan dibandingkan dengan taman nasional. Pemerataan peraturan pada kawasan bukan taman nasional menunjukan pengetahuan lokal bahwa pengguna sumber daya mempengaruhi banyak hasil hutan yang bisa sediakan, dan jika diberikan kesempatan, masyarakat akan membuat peraturan untuk mengatur setiap hasilnya.

D.    KESIMPULAN
            Studi kasus ini dimulai dengan dua analisa. Pertama, dengan menentukan apakah taman nasional sudah cukup efektif sebagai alternative konservasi hutan TNK, karena hal tersebut bukan merupakan satu-satunya cara untuk mengkonservasi sebuah hutan. Dan analisa kedua  dengan menentukan susunan institusi alternatif yang mungkin lebih efektif untuk mengatur sebuah sistem kawasan konservasi yang meliputi dua aspek, mementingkan kesejahteraan manusia taman menghancurkan sebuah tatanan ekologis yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas suatu kehidupan manusia itu sendiri. Analisis ini juga menggambarkan bahwa peraturan kehutanan mungkin juga tidak cukup berpengaruh. Sementara pemerataan pada peraturan kehutanan pada kawasan bukan taman nasional coba dilakukan, distribusi dari kepadatan vegetasi pada penelitian IFRI menunjukkan kesamaan dengan taman nasional. Ini menunjukkan bahwa penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk pemahaman lebih baik tentang pengaruh antara pergerakan penggundulan hutan dan peran institusi manajemen hutan.
            Kearifan pada alam merupakan manifestasi tertinggi dalam bentuk mensyukuri nikmat Tuhan. Alam bukanlah obyek yang harus dikelola dengan paksa tetapi alam adalah obyek yang harus diperlakukan mesra. Kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai bukanlah hal untuk dikutuk ataupun mencari kambing hitam. tetapi marilah kita mengambil peran dalam mengelola hutan (Ayu).

1 komentar:

  1. saya fikir aspek ekologis lebih penting dan akan menyelamatkan manusia yang ada di sekitarnya

    BalasHapus